Demokrasi Di Negeri Ini (Cukup Sampai Di Sini)



   Rasanya bukan lagi rahasia jika seseorang yang berniat mencalonkan diri menjadi “petinggi”, mulai dari kepala desa hingga presiden, harus menyiapkan uang yang tidak lagi lumayan. Entah itu dari donatur atau dari dompet sendiri. Juga bukan rahasia lagi, calon pemilih (rakyat) setidaknya bergembira, kalau kurang bisa disebut berpesta, ketika waktu pemilihan tiba. Dan, rasanya terlalu bodoh jika saya mengungkapkan hubungan keduanya (uang dan pesta) dalam konteks pemilihan seorang “ketua” secara gamblang di sini apa adanya. Saya yakin anda semua sudah mengerti apa yang terjadi.

    Itulah gambaran demokrasi di negeri ini. Siapa yang kuat secara finansial, tak dapat disangkal dialah yang menang. Di sini saya tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan “bagaimana agar fenomena tersebut tidak berkelanjutan?” Bukan. Saya hanya ingin menilik dan menakar masihkah atau sudah tepatkah demokrasi diterapkan di negeri ini.

    Sebagaimana diketahui bersama, dalam demokrasi, kekuasaan ada ditangan rakyat dengan slogannya; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Meski demikian, tidak dibenarkan adanya kekuasaan (dari mayoritas) yang absolut tanpa batas. Penguasa tidak dibenarkan merampas hak-hak hakikat manusia, walaupun dari golongan minoritas. Dari kalimat terakhir sebelumnya mungkin timbul sebuah pertanyaan: apakah memberi uang kepada calon pemilih tanpa paksaan termasuk merampas hak-hak hakikat manusia? Mari kita bersama-sama menelaahnya.

    Di atas sudah disebutkan fundamen demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari rakyat; suatu pemerintahan harus dari rakyat. Dari hati nurani mereka. Bukan karena dari mendapatkan uang atau pun sejenisnya. Sehingga, kebulatan mayoritas hati nurani inilah yang disebut suara Tuhan. Oleh rakyat; yang mengemban pemerintahan harus rakyat. Bukan pedagang. Dengan demikian, diharapkan apa yang diinginkan rakyat benar-benar dapat direalisasiakan. Untuk rakyat; tujuan pemerintahan harus menciptakan kesejahteraan rakyat. Bukan untuk sebagian rakyat. Makanya ada yang namanya trias politica untuk menjamin agar suara rakyat tetap utuh menjadi suara rakyat dalam proses pemerintahan.

    Dalam “tradisi” demokrasi di negeri ini yang “mengharuskan bersedekah” kepada calon pemilih, jika dilihat dari hakikat demokrasi itu sendiri, saya kira sangat sesat. Juga menyesatkan. Sesat karena menjauh dari apa yang menjadi tujuan demokrasi itu sendiri. Menyesatkan karena keberlangsungan kehidupan berbangsa sudah diperjual-belikan. Bahkan dapat “mematikan” Tuhan jika dalam hati kita percaya dan yakin bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Parahnya, tradisi itu terlalu sulit untuk diangkat dari bumi ini mengingat banyak aspek dan faktor yang bermain di sana.

    Saat ini saya tengah membaca buku Alan Greenspan yang berjudul “Abad Prahara”. Di sana ia menyebutkan: Jika anda bersedia melakukan tuntutan apa saja agar anda dapat menjadi seorang presiden, maka anda sangat tidak layak menjabat sebagai presiden. Anda yang cerdas-cerdas tentu dapat menangkap kalimat ini bukan hanya dalam konteks “sebagai presiden.” Kepala desa, camat, bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden itu sendiri, tentunya masuk dalam apa yang dimaksud dengan “sebagai presiden” dalam kalimat itu. Bagi saya sendiri, kalimat itu tidak ada bedanya dengan “menghalalkan segala cara asal dapat mancapai cita-cita”.

    Jika tuntutan untuk menjadi “pimpinan” seseorang harus mengikuti “tradisi” demokrasi di negeri ini yang notabene menyalahi hakikat dari demokrasi itu sendiri, apa itu bukan sebuah langkah awal yang salah? Dan, jika dalam mengikutinya hanya sekedar sebagai sarana agar dapat membenahi negeri ini, apa tetap dapat dibenarkan?

    Jika dalam demokrasi di negeri ini masih menganut “tradisi” seperti ini, dan jika ada seseorang yang mengikuti “tradisi” tersebut, bagi saya pribadi dari sedikit paparan singkat di atas tetap tidak dibenarkan dengan apapun alasan. Selain karena mencoreng konsep demokrasi itu sendiri, juga merendahkan derajat rakyat. Tanpa menganggap rakyat kurang (tidak) sehat karena masih melarat, saya rasa tidak berlebihan jika kita kembali ke sistem kerajaan. “Tidak gampang memimpin negeri ini,” begitulah kata pak Soeharto menjelang lengsernya.



Semarang,
00:24/290112.
Previous
Next Post »