Saya tidak mengerti kenapa saya
merasa sangat jengkel dan marah yang bercampur geli mendengar jawaban-jawaban
Angelina Sondakh dalam kesaksiannya atas kasus Wisma Atlet yang ditayangkan
langsung di televisi. Walaupun saya sangat tidak tahu siapa pihak yang benar
dan siapa pihak yang salah, namun saya sangat menginginkan agar Angelina
Sondakh tidak mengatakan kata “TIDAK” (mungkin saja lidahnya sudah terlanjur
hanya bisa berkata “TIDAK” seperti iklan Partai Demokrat untuk memerangi
korupsi yang akhir-akhir ini sering ditayangkan di televisi, sehingga tidak
bisa berkata lagi “YA”) dalam persidangan itu.
Harapan saya supaya Angelina
Sondakh mengatakan kata “YA” bukan karena saya menginginkan agar Angelina
Sondakh terjerat di penjara. Bukan. Tetapi saya hanya ingin mengetahui semua
teka-teki kasus itu yang selama ini menyedot terlalu banyak energi bangsa ini.
Andai saja Angelina Sondakh berkata “YA”, bukankah tentu saja akan terbongkar
siapa pemegang wayang dibalik layar? Tentu, karena hanya mengandalkan cerita
Nazaruddin tanpa didukung “pahlawan-pahlawan” lain rasanya sangat tak mungkin.
Sebenarnya bukan hanya Angelina Sondakh saja. Siapapun orang yang posisinya
seperti Angelina Sondakh saat ini, saya harap berkenan menjadi seorang “pahlawan”.
Dalam
kekecewaan itu, kalimat Zhu Rongji, seorang Perdana Menteri China tahun 1998-2003
ketika jabatan presiden dipegang oleh Jiang Zemin, “Sediakan sepuluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan
sebuah lagi untuk diriku, kalau aku juga korupsi,” tiba-tiba terlintas
diingatan saya. Saya pun berkhayal, mungkin tidak akan ada koruptor andai saja
hukuman mati ditegakkan di negeri ini. Namun, tak lama berselang khayalan saya
itu hilang mengingat dimensi manusia itu dinamis. Orang yang berbuat salah
tidak selamanya berbuat salah, begitu pula orang yang berbuat benar pasti juga
pernah berbuat salah. Itulah dinamika jiwa manusia. Jika dihukum mati, berarti
dimensi manusia yang dinamis itu dinafikan. Siapa tahu setelah berbuat salah
seseorang ingin bertaubat dengan tidak ingin lagi berbuat salah?
Dalam
pengertiannya, korupsi bisa disinonimkan dengan mencuri. Dalam Al-Qur’an
disebutkan hukuman bagi pencuri: “Wassaariqu
wassaariqatu faqtha’uu aidiyahumaa jazaa’an bimaa kasabaa nakaalan-minallah,
wallahu ‘aziizun hakiim (Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana)”
[QS. Al-Maidah (5): 38].
Terlepas
dari pengusulan ideologi-agama (Islam), ayat di atas seharusnya dipertimbangkan
oleh mereka yang berwenang membuat hukum di negeri ini. Meski saya belum pernah
mendengar bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW hidup pernah melaksanakan hukuman
itu, namun melihat penumpasan korupsi yang memang sangat terlalu sulit sekali,
hukum itu kelihatannya dapat menjadi alternatif untuk meminimalisir sekaligus
mencegah terjadinya korupsi. Bukan sebagai proses bertahap formalisasi hukum (Islam)
di negeri ini yang sering didengungkan oleh pergerakan-pergerakan Islam literalis.
Memang tampak terlihat ekstrem, tapi bukankah sesuatu yang telah terjadi dengan
ekstrem perlu pembenahan yang ekstrem pula? Toh, hukum yang ada sekarang juga
bukan murni hukum bangsa ini, melainkan warisan kolonial Belanda.
Jika
demokrasi sangat sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika,” hukuman potong
tangan bagi pelaku korupsi, bagi saya, juga sejalan dengan filosofi hukum yang
mengedepankan prinsip keadilan, baik individual maupun sosial. Jika demokrasi
tengah berusaha diwujudkan di negeri ini meski masih terlunta dengan berbagai
kelemahannya dimana-mana, kenapa hukum potong tangan tidak?
Ingat,
koruptor telah membuat negara menelan banyak kerugian di saat negara tengah membutuhkan
perhatian untuk memacu ketertinggalan. Dan, ketertinggalan hanya dapat terwujud
jika keadilan berjalan. Wallahu A’lam …
Semarang,
12:16/180212.
ConversionConversion EmoticonEmoticon