Siluman Warung Makan

Tangannya memegang jagad.
Diputar.
Dikibaskan.
Ditendang.
Diam.
Dinaikkan.
Diturunkan.
Dipentalkan.
Diam.

Kakinya memijak jagad.
Diinjak.
Dihentak.
Dikoyak.
Diam.
Dilompati.
Dilalui.
Diterkam.
Diam.

Tubuhnya menyirap jagad.
Digoyang.
Diayun.
Ditindih.
Diam.
Diangkat.
Dilepas.
Dilempar.
Diam.

Tak lama kemudian, ...

Pemuda berumur sebaya makan siang dengan temannya.
Diterangnya siang saling menyembunyikan nyamuk dalam masing-masing sakunya.
Sang pelayan datang mengantar serantang pesanan;
"Belum waktunya menikmati hari."
Kecemburuan memasuki ruang diantara dua gelas minuman.

Dari meja lain yang lesehan, seorang pemuda datang meminjam pulpen.
Beberapa goresan menggambar tanda tangan.
Pulpen disedekahkan dan diselipkan pada serta-serat kain sakunya.
Sang pemuda itu tersenyum memendam makna.
Teman dihadapannya mengernyit penuh tanya.
Pemuda dilain meja yang lesehan tadi tampak bangga merasakan nyamuk mulai menggerogoti sakunya.

Menjelang akhir makan siang, hanya tiga pemuda itu yang bertahan.
Sang pelayan mengunci pintu dari seberang jalan;
"Belum waktunya menikmati hari."
Katiga pemuda sebaya itu melingkar tanpa meja.
Serantang makanan tanak ditempatnya awal.
Segaris bayang-bayang memportal mata diantara mereka.

"Saya mengemban keyakinan."
Bersamaan kata-kata melontar.
Dari sorot mereka.
Dari pijar mereka.
Dari rona mereka.
Dari gerak bibir mereka.
Dari balik lidah mereka yang menyala.

Jagad benar-benar diam.
Di atas serantang makanan.
Di antara segitiga gelas minuman.
Di depan mata kecurigaan.
Di bawah retina yang liar.
"Belum waktunya menikmati hari."



Semarang,
20:24/090212.
Previous
Next Post »