Manusia Semu

Curiga mata tertata.
Di tangan.
Di kaki.
Di pikiran.
Di karpet merah tempat muncratnya gelisah.
Di sajadah ungu tempat tenggelamnya ragu.

Aku, kamu, dan mereka tahu kuburan tabu.
Di lidah.
Di hati.
Di keyakinan.
Di jidat cokelat srigala tua pemberi nasehat.
Di jambul putih singa tempat raksasa berpesta.

Aku, kamu, dan mereka enggan mengunduh kemanusiaan.
Di politik.
Di hukum.
Di ekonomi.
Di pendidikan dimana dunia ideal hanya banyolan.
Di agama dimana surga cuma media tawa.

Aku mendengar pemulung diasingkan.
Kamu mendengar pelacur dimanjakan.
Mereka mendengar koruptor disinggasanakan.
Semua mendengar kemanusian hanya angan-angan.

Tolong bungkam aku.
Tolong bungkam kamu.
Tolong bungkam mereka.
Tolong bungkam semua.
Tolong bungkam curiga mata.

Aku tak perlu jadi Pandawa di Padang Kurusetra.
Kamu tak perlu jadi Umar bin Khatab menebas nyawa.
Mereka tak perlu jadi Hitler menumpas raga.
Semua tak perlu jadi Che Guevara meredam angkara jiwa.

Aku, kamu, dan mereka sama-sama suka melupa.
Di keluarga.
Di massa.
Di jalan raya tempat derita menyapa.
Di gang kumuh tempat segala ide menyimpuh.

Aku dengar mall-mall menguliti pasar tradisional.
Kamu dengar cakar bumi merobek pagar petani.
Mereka dengar kapal nelayan terlantar.
Semua dengar kemanusiaan tengah dikebumikan.

Aku dengar dari desah nafas.
Kamu dengar dari sisa kata.
Mereka dengar dari tirai bicara.
Semua dengar satu peristiwa: mulai hilangnya manusia.

Aku, kamu, dan mereka telah memesan kematian.
Di udara.
Di usia.
Di rekahan kejujuran lidah.
Di keberanian sikap membelah.

Aku, kamu, dan mereka tengah meramu jamu.
Gendongan depot-depot menuang cairan got.
Menendang pop-top moral hingga brutal, liar.

Aku, kamu, dan mereka tak pernah tahu hulu.
Sebab, semu yang tengah berlaku telah membeku.



Semarang,
02:28/170212.
Previous
Next Post »