Autobiografi Manusia

Aku lahir dari persimpangan kepentingan.
Dibesarkan oleh kedua tangan yang bersisihan;
Kehidupan dan kematian.
Tapi aku tak mengenal apa dan siapa mereka.
Tiap kali aku menyelami, tiap itu pula aku diseberangi.
Semakin dalam, semakin dangkal.

Semenjak kanak-kanak, aku digadang-gadang menjadi manusia kelak.
Aku dididik lebih dari layak.
Segala teori ditabur dijiwaku yang masih gembur.
Semua keahlian ditanam pada tubuhku yang masih gersang.
Mereka berlomba menjadikan aku sebagai manusia.

Menginjak remaja, kepentingan yang melahirkanku bergumam dalam diam.
Aku jadi tak mengerti mengapa aku mesti di sini.
Mengapa aku mesti berada di bumi ini.
Kehidupan dan kematian yang membesarkanku tak banyak membantu.
Mereka juga diam; tampaknya memang tak paham.

Ketika dewasa, kepentingan berhenti menyuapiku api tiap hari.
Kehidupan berhenti mengajariku mengalir dalam air.
Begitu pula kematian; tangannya tak lagi menceritakan mimpi-mimpi.
Aku jadi merasa benar-benar besar.
Hingga tanpa sadar, helaian rambutku menyundul awan.

Masih pada masa dewasa, aku selalu memakan jeruji-jeruji penjara.
Memberangus mata angin hingga terbakar hangus tanpa melengking.
Hujan yang telah bisa aku datangkan aku semprotkan kemudian.
Supaya tak ada lagi ekor yang mampu jadi orator.

Menjelang usia senja, aku pelajari lagi detik demi detik titik per titik.
Mulai dari yang akan menjelma hingga yang telah tiada.
Aku paksakan sisa tenaga untuk menjaga sebuah titik yang tak pernah tak terjaga.
Namun aku tetap tak tahu berapa usia yang tersisa;
Apakah sama dengan paparan bangsa Maya?
Atau bersama titik dihadapanku yang sudah kian mendelik?



Semarang,
00:56/280112.
Previous
Next Post »