Dalam khazanah hidup berbangsa
dan bernegara, ada satu istilah yang tidak dapat dielakkan disana, yaitu
“pahlawan”. Apakah sebenarnya pahlawan itu? Bisakah seorang atlet Sea Games
yang mengharumkan nama bangsa dengan merenggut medali emas dapat dikategorikan
sebagai “pahlawan”? Seorang Pangeran Diponegoro yang memperjuangkan tanah
pekuburan leluhurnya dengan melawan Kolonialisme, yang kebetulan pada saat ini
wilayah itu bagian integral dari NKRI juga bisa disebut sebagai “pahlawan”?
Atau, seorang bapak Soeharto yang selama 30 tahun lebih memimpin bangsa ini
dengan prestasinya mengangkat status negara ini dimata internasional dari
“miskin” menjadi “berkembang” tidak masuk dalam kategori “pahlawan”?
Tentu saja pasti ada
kriteria-kriteria tertentu bagi seseorang bisa disebut sebagai pahlawan.
Terlepas dari kriteria-kriteria resmi yang dimiliki lembaga tertentu yang
berotoritas dalam hal ini di negeri ini, saya ingin menawarkan sedikit saja
mengenai siapa sebenarnya yang paling berhak menyandang gelar pahlawan. Dan
tentu ini hanya merupakan pemikiran saya yang masih dangkal.
Secara harfiah, kata “pahlawan”
berasal dari kata “pahala” ditambah dengan akhiran “wan”. Sebagaimana dalam
kaidah bahasa Indonesia, kata yang diakhiri dengan kata “wan” berarti
menunjukkan seseorang yang konsen atau ahli dalam kata yang diakhiri tersebut.
Misalnya, sastrawan adalah orang yang ahli atau konsennya dalam bidang sastra,
begitu pula wartawan, budayawan, dan lain-lain. Dari sini kiranya sudah dapat sekilas
bayangan tentang pahlawan, yakni seseorang yang konsen dan orientasinya hanya pada
pahala.
Adakah orang seperti itu? Itulah
pertanyaan yang pasti muncul mengingat tren dunia saat ini adalah materialistik-kapitalistik.
Yaitu ideologi yang mengajarkan bahwasanya anda belum “hidup” jika anda belum
ber-“materi”. Dan “materi” anda tak ada gunanya jika anda tidak menggunakannya
untuk mendapatkan “materi” lagi, tentu saja yang lebih berlimpah. Selain itu,
mana mungkin manusia bisa sepenuhnya mencurahkan hidupnya hanya untuk pahala? Lalu
bagaimana dengan kebutuhan dasarnya (pangan, sandang dan papan)? Pertanyaan
kedua ini sebenarnya adalah lanjutan pertanyaan pertama sekaligus pertanyaan
yang mengindikasikan bahwa masyarakat kita sudah terkontaminasi, kalau tidak
pendukung atau penganut, ideologi materialistik-kapitalistik. Dan, justru keadaan
masyarakat seperti inilah yang terus dirumat oleh kalangan materialis-kapitalis
agar eksistensinya dapat terus berlangsung.
Seorang pahlawan, meski misi dan
orientasinya hanya pada pahala, tidak berarti ia menafikan betapa pentingnya
kebutuhan dasar hidupnya, baik sebagai individu maupun kolektif. Sebagai
individu, ia tetap harus memenuhi segala insting hidupnya. Misalnya makan,
minum, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia harus tetap bekerja. Bekerja untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut. Bukan untuk mendapatkan prestise atau apa
pun. Mungkin sangat tepat apa yang dikonsepsikan oleh Almarhum Che Guevara: “Bekerja sesuai kemampuan dan menerima gaji
sesuai kebutuhan”, mungkin itu kata-kata yang tepat bagi seseorang yang
dapat kita sebut sebagai pahlawan dewasa ini. Orientasi dan misinya pada pahala-lah
yang menempatkannya sebagai pahlawan, dengan menempatkan prioritas mana yang
lebih wajib didahulukan.
Sebagian besar dari masyarakat
kita, termasuk saya dan mungkin juga anda, akan dengan mudah menyebut seseorang
sebagai pahlawan jika orang tersebut melakukan sesuatu hal yang sifatnya
membanggakan dan mengantarkan pada sebuah prestise tanpa memandang motif apa
yang ada dibaliknya. Contoh: Menlu AS, Hillary Clinton, datang dengan
memberikan bantuan 600 dolar AS untuk mengurangi kemiskinan di negeri ini.
Terbukti, beberapa bulan kemudian angka kemiskinan di negeri ini (entah
standarisasinya bagaimana) memang menurun dengan banyaknya lapangan kerja yang
lahir dari uang tersebut. Tetapi, benarkah dengan demikian kita dapat menjuluki
Hillary Clinton sebagai pahlawannya orang miskin tanpa melihat motif
dibaliknya.
Tentu saja tidak semudah itu
bukan. Tentu orang-orang yang “waras” akan mengamati ada apa sebenarnya dibalik
kucuran dana itu. Apakah Amerika Serikat tulus, atau, jangan-jangan negara
Kapitalis itu ingin menyuntikkan ketergantungan kita padanya, atau, negera itu
ingin menggunakan Indonesia sebagai transit kepentingannya. Tentu kita tak akan
tahu. Sebab, bagaimanapun juga yang namanya motif yang tahu hanya kalangan
mereka.
Kembali kepada pahlawan. Beberapa
bulan yang lalu, hampir semua media di negeri ini menyorot tentang keberhasilan
para atlet Sea Games merebut juara umum. Disela-sela mendengungkan kebahagiaan
beserta hiruk pikuk perhelatan itu, tak lupa media juga meliput mantan-mantan
atlet yang sebelumnya juga pernah meraih medali emas di ajang tersebut. Namun,
media ternyata lebih menitikberatkan pada nasib mantan atlet tersebut yang
katanya “tidak dihargai oleh bangsa ini”. Media seolah ingin menohok pimpinan
negeri ini terhadap mereka yang telah “berjasa“ mengharumkan nama negeri ini.
Apa indikatornya? Ternyata masalah kesejahteraan (baca: kekayaan) sang atlet.
Pada kasus seperti ini, mungkin kita
bisa bertanya: Apakah harus dengan materi negeri ini menghargai penduduknya yang
telah mengharumkan nama negeri ini? Parahnya, mantan atlet-atlet tersebut
dengan julukan “pahlawan”-nya seolah tanpa rasa rikuh dengan halus menuntut nasibnya (baca. kekurangan materinya)
diperhatikan.
Apa betul bangsa ini tidak pernah
mendengar atau membaca pepatah: “Jangan berpikir
apa yang kau dapatkan dari negeri ini, tetapi berpikirlah apa yang telah kau
berikan kepada bangsa ini?”
Semarang,
18:55/260212.
ConversionConversion EmoticonEmoticon