Komedi dan Konteks Negeri

Setiap kali melihat TV bersama teman-teman menjelang malam, hampir dipastikan channel pertama kali yang dipilih adalah Stasiun A. Saat saya main ke tempat beberapa teman saya pada jam yang sama pula, jika mereka sedang menonton TV, pilihannya juga tak beda (Stasiun A). Meskipun ada satu dua teman yang tidak memilih Stasiun A, namun jika dipresentasikan mungkin 95 % (Stasiun A) banding 5 % (bukan Stasiun A). Semenjak itu saya jadi sering bertanya-tanya; mengapa kebanyakan teman saya menyukai acara di Stasiun A pada jam itu?

Jawabannya mungkin jelas; karena acara di Stasiun A menyenangkan dan tidak membuat penat kepala (menghibur). Siapa yang tidak tersenyum atau mungkin tertawa lepas terbahak-bahak menyaksikan aksi-aksi dan banyolan-banyolan para komedian? Jika ada yang tidak, tentu kebangetan dan harus memeriksakan kejiwaannya.


Saya jadi teringat pada bulan Ramadlan kemarin jika menjelang waktu sahur. Hampir semua stasiun TV tak ada yang tidak menayangkan acara komedi. Entah dengan dalih membangunkan orang yang baru tidur agar semangat untuk makan sahur atau apa, saya kurang (tidak) tahu. Namun, saya seperti menemukan ada kejanggalan-kejanggalan; kenapa komedi sepertinya begitu menempati “kasta yang tinggi” di media negeri ini? Karena saya juga belum pernah keluar negeri, saya pun sering bertanya-tanya sendiri, apakah fenomena seperti ini juga terjadi di luar negeri?

Belum juga menemukan jawabannya, saya pun seperti dihardik sebuah cuilan hadits Nabi bahwasanya senyum itu kan ibadah, jadi kenapa mesti dipertanyakan? Senyum memang ibadah jika ada objek untuk disenyumi, kalau tak ada objeknya lalu senyum-senyum sendiri apa itu ibadah? Kemudian jika kita ingin senyum, mungkin tepatnya selalu ingin tertawa, dengan mancari bahan ketawaan apa itu juga ibadah? Saya jadi agak bingung sendiri dengan bertanya sendiri dan menjawabnya sendiri.

Di tengah kebingungan saya itu, tiba-tiba ada seorang teman saya bermain ke tempat saya yang ternyata juga sedang bingung terhadap kasus Nazaruddin. Bukan hanya kasus Nazaruddin, kasus lainnya seperti kasus BLBI, Munir, Century, Gayus, Nunun, dan yang lainnya pun ia juga bingung. Lalu dia membandingkan kasus-kasus “elite” itu dengan kasus-kasus pencurian semangka, kapas, sandal , dan kasus-kasus “proletar” lainnya. Jadinya, dia pun bertambah bingung.

Setelah panjang lebar dia memaparkan kebingungannya itu, lalu ia mengajak masuk ke dalam (karena pada waktu itu kita sedang ngopi diteras sambil melihat orang-orang lewat) untuk menonton TV. Setelah memencet-mencet remote memilih channel yang akan ditonton, lalu dia pun berhenti pada channel A. Terlihat diwajahnya sangat ceria. Mulutnya pun tampak lebih dari tersenyum. Bahkan terbahak-bahak sejadi-jadinya. Seakan-akan saya merasa ia sudah lupa pada kebingungan-kebingungannya yang baru saja diungkapkannya.

Dengan mengamatinya, saya jadi punya pikiran; jangan-jangan acara komedi mempunyai “level tinggi” di negeri ini karena negeri ini keadaannya sedang “begini” (saya yakin anda sudah tahu maksud saya). Dan karena media pun tampaknya terlalu lelah (semoga saja tidak apatis) mengekspos kondisi negeri ini, makanya ia pun berinisiatif lebih baik “menerapi” penghuni negeri ini lewat komedi. Mungkin ……

Wallahu a’lam,



Semarang,
00:37/230112.
Previous
Next Post »