Pak Menteri Pendidikan

Dibawah pohon rindang, orang tua itu berbicara pada sekumpulan anak-anak. Mungkin bercerita. Tentang kebajikan. Tentang "dunia sana". Tentang dunia sini. Tentang negara kota. Juga tentang manusia.
Mereka melakukan hal tersebut selalu saja di waktu senggang. Waktu dimana anak-anak itu tidak lagi bermain. Tidak lagi dibutuhkan orang tua mereka untuk membantu melakukan ini-itu. Waktu yang demikianlah yang memungkinkan bagi orang tua anak-anak itu tidak keberatan melepas anak-anak mereka. Demikian juga bagi anak-anak itu, saat-saat yang demikian membuat mereka menjalani aktifitas tersebut dengan sepenuh "kehadiran".
Aktifitas inilah yang belakangan kita kenal dengan sekolah. Ia berakar dari bahasa Latin yang berarti waktu luang. Sebab, kegiatan itu dilakukan pada waktu luang.
Catatan sejarah ini tiba-tiba mengambang diingatan tadi malam. Ketika seorang teman mengatakan bahwa pak Menteri Pendidikan yang baru mewacanakan program "full day school". Program yang direncanakan diterbitkan lewat "permen" itu hendak melangsungkan jam sekolah sehari penuh bagi sekolah SD dan SMP.
Segala sesuatu memang perlu direkonstruksi. Terus direkonstruksi hingga menjadi sempurna. Termasuk sekolah. Yang awalnya hanya terjadi ketika di waktu luang, perlu ditingkatkan di waktu-waktu lain. Bahkan diharuskan untuk mengalokasikan waktu lebih mengingat betapa pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Tapi perlu digaris bawahi bahwa yang paling perlu adalah ilmu pengetahuan dan pendidikan. Bukan sekolah-nya. Sekolah hanya media dan sarana. Ilmu pengetahuan dan pendidikan dapat diperoleh diluar sekolah. Di rumah. Di masyarakat. Di jalan. Dimana saja asal kita bisa belajar didalamnya.
Berkaitan dengan wacana pak Menteri, saya lebih melihatnya sebagai ketakutan seorang bapak terhadap anaknya. Seorang bapak yang ketakutan anaknya salah bergaul. Seorang bapak yang takut anaknya beraktifitas yang bukan-bukan. Sehingga tanpa sadar beliau "memingit" anaknya. Memenjara anaknya. Mencekoki anaknya dengan sesuatu yang positif menurutnya. Tanpa mempedulikan sisi kejiwaan si anak. Ini yang pertama.
Kedua, tampaknya pak Menteri kita terkungkung dalam hegemoni dikotomi ilmu. Pemisahan ilmu umum dan agama. Sekolah yang notabene mewakili ilmu umum dipandang wajib daripada madrasah yang menggeluti ilmu keagamaan.
Kenyataan yang terjadi selama ini, sekolah yang bubar jam setengah dua siang saja mampu menyepikan madrasah yang ada. Madrasah yang kebanyakan mulai aktifitas jam dua hingga setengah tiga kerap ditinggalkan anak-anak demi mengikuti jam sekolah yang ada. Belum lagi adanya kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan pihak sekolah di sore hari. Lagi-lagi ilmu agama harus dipinggirkan untuk turut kegiatan sekolah itu.
Anggapan sebagian teman bahwa pak Menteri hendak memasung ilmu-ilmu agama dengan tidak memberi waktu madrasah untuk  hidup semoga tidak benar. Sebagai orang ormas Islam terbesar kedua di Indonesia, tentu anggapan tersebut sangat tidak masuk akal, bukan?
Salam.
Previous
Next Post »