Budaya Tulis dalam Dunia Kapitalis: Potret di Negeri Ini

    Beberapa waktu yang lalu, tepatnya hari sabtu, pagi-pagi sekali seorang teman saya mengirim sebuah pesan yang isinya menyuruh saya mengomentari tulisannya yang pada hari itu dimuat oleh sebuah koran lokal. Tanpa banyak pertimbangan saya pun pergi membeli koran itu dan membaca tulisannya. Singkat cerita, saya pun mengomentari tulisannya itu tanpa lupa memberi apresiasi kepadanya terlebih dahulu.

    Sore harinya, ketika main ke rumah salah seorang profesor yang juga pernah menjabat sebagai rektor di sebuah perguruan tinggi di kota ini, saya ditanya; apakah saya tidak suka menulis? Menulis adalah sarana untuk mengungkapkan pikiran, apa pun bentuknya, lanjut sang profesor itu. Lalu ia memaparkan bagaimana budaya tulis di negeri ini yang, menurutnya, masih sangat minim. Adapun banyak akademisi yang menulis, berdasarkan pengalamannya pula, kebanyakan dari mereka tidak lain karena tuntutan. Jarang yang ada karena timbul dari keinginan sendiri.

    Pada waktu itu saya sangat percaya pada apa yang diucapkan oleh sang profesor tadi. Kepercayaan saya ini bukan karena ia seorang profesor, tapi karena saya sendiri pernah membaca laporan di koran nasional kira-kira bulan Desember 2010 yang menyebutkan demikian. Bahkan, menurut laporan itu, banyak tulisan para akademisi yang secara kualitas dipertanyakan. Hal ini tidak lain karena mereka hanya sebatas memenuhi tuntutan prosedur dunia akademis yang membuat mereka tidak begitu serius mengerjakannya (menulisnya).

    Meski saya sendiri tidak (belum) punya "tulisan", sejak saat itu saya sering mempertanyakan hal itu—mengapa di negeri ini dunia tulis-menulis kurang diminati. Secara spekulatif saya menemukan jawabannya; sebab di negeri ini orang-orangnya kurang atau bahkan tidak suka membaca. Logikanya begini; jika banyak orang yang membaca, akan banyak pula orang yang berusaha menulis. Logika ini saya anut dari prinsip ekonomi mengingat budaya konsumerisme sedang melanda negeri ini. Rincinya, semakin banyak orang yang membaca, semakin banyak pula buku-buku baru yang harus diproduksi. Begitu pula sebaliknya. Intinya, sebab menulis belum (tidak) menjanjikan kekayaan di negeri ini.

    Tiba-tiba saya melanjutkan dengan pertanyaan; mengapa di negeri ini orang-orangnya kurang (tidak) suka membaca. Saya pun menjawabnya sendiri dengan spekulasi; sebab bangsa ini tidak punya waktu untuk itu. Sebagian besar waktunya telah habis untuk bekerja mencukupi kebutuhannya dan sebagian kecil waktunya untuk istirahat. Ditambah lagi dengan budaya hedonisme yang tiap hari memenuhi berbagai media, habis sudah semua waktu yang ada.

    Selain alasan di atas, saya pun menemui fenomena yang tampak mendukung hal itu. Saya mendapati banyak teman mahasiswa saya yang hampir tidak memiliki buku sama sekali selain buku kuliah. Buku kuliah itu pun dibeli tidak lain karena pengarangnya adalah dosen pengampu mata kuliah yang tengah diambilnya. Tentunya dengan harapan agar lebih mudah lulus mata kuliah tersebut. Yang mungkin lebih mengejutkan lagi, buku itu tidak pernah disentuh kecuali saat berlangsung perkuliahan.

    Penguat lainnya, obrolan-obrolan yang saya temui hampir tak ada, alih-alih jarang, orang yang membahas tentang isi sebuah buku dibanding alur sebuah sinetron, film, produk-produk terbaru teknologi maupun olah raga. Dan tentunya, berbagai dunia hiburan yang mengalihkan kegiatan untuk itu lebih menggembirakan di tengah kondisi dunia yang semakin mengerikan jika kita mengikuti perkembangannya.

    Gajah mati meninggalkan gadingnya, manusia mati bukan hanya sekedar meninggalkan namanya, tapi yang lebih terpenting adalah karyanya.



Semarang,
02:18/010212.
Previous
Next Post »