Sajak-sajak Angkuh

Sudah hampir pukul dua malam.
Sajak-sajakmu belum juga aku temukan.
Sesulit aku memahami perempuan yang terkapar di ranjang.
Apakah karena matriarkal?
Atau hanya sekedar mengusir lapar dengan gaya ala popular?

Aku masih menyimak mulutmu disaat-saat akhir hayatmu yang telanjang.
Sajak-sajakmu terukir abstrak dalam genggaman bir di surau sebuah bar.
Keras eranganmu terdengar buyar saat hampir pukul dua malam.
Persis seperti adzan yang beberapa jam lagi akan berkumandang.
Sudah hampir pukul dua malam.

Sajak-sajakmu belum juga aku temukan.
Lontar-lontar bertebaran merakit titik-titik kejenuhan.
Menyuarakan alam yang kian terbenam.
Menggunjingkan manusia yang tak hentinya ternoda.
Menanyakan Tuhan yang sering diperdebatkan.

Sajak-sajakmu harusnya telah muncul pada tiap-tiap tetesan peluh.
Mendesah dan melenguh sebagaimana kau bersetubuh.
Bukannya mengangkuh seperti seorang musuh.
Bukannya mengeluh pada air-air keruh yang sedang aku seduh.
Aku pun sudah rapuh jika sajak-sajakmu aku temukan di waktu shubuh.



Rembang,
01:50/290811.
Previous
Next Post »