Dilema Bahasa Indonesia

"Ayah..." panggil bocah tiga tahun itu. Bapaknya adalah sahabat saya. Orang jawa. Tulen. Rumahnya yang bersebelahan dengan desa saya tergolong "ndeso" sebagaimana "ndeso"-nya desa saya. Makanya saya agak terkejut begitu mendengar putrinya yang masih berumur tiga tahun itu memanggilnya dengan "ayah".

Terkejut adalah hak saya. Termasuk bila terkejut ketika mendengar panggilan "ayah" itu. Bukan apa-apa. Bagi telinga orang desa yang "ndeso" macam kami, panggilan "ayah" belumlah akrab. Terdengar asing. Terasa "gimana gitu". Malah terkesan "sok kota". Yang akrab ditelinga kami adalah panggilan "bapak".

Meski demikian, tidak ada hak bagi saya untuk melarang bocah kecil itu menggunakan panggilan "ayah" itu. Saya juga tidak punya hak untuk keberatan atas panggilan "ayah" itu. Jadi, saya tidak protes. Tapi juga tidak bisa diam.

"Saya orang Indonesia, kok...!!" Tukas sahabat saya ketika saya tanya.

*****

Bagi orang desa yang "ndeso" macam saya, bahasa Jawa adalah bahasa keseharian. Begitu pula yang berlaku di kota kabupaten saya. Di semua tempat semua orang berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Satu-satunya tempat yang memakai bahasa Indonesia adalah sekolahan. Itupun kalau sedang proses pembelajaran di kelas. Selain itu, bahasa Jawa yang berlaku.

Hal seperti ini saya yakin juga terjadi di lain tempat yang mempunyai bahasa daerah. Di Sunda, Batak, Madura, dan lain sebagainya. Karena beraneka ragamnya bahasa daerah inilah maka bahasa Indonesia dipilih menjadi bahasa nasional. Bahasa pemersatu. Bahasa yang menghindarkan dominasi satu bahasa daerah di negeri ini. Bahasa yang menciutkan sumbu-sumbu perpecahan NKRI.

Meski demikian, bahasa Indonesia belum mampu sepenuhnya mengemban tugasnya. Yakni pada sisi implementasinya ditengah-tengah masyarakat. Terlebih di era digital-informasi dewasa ini yang telah berhasil "menyempitkan" dunia.

Setidaknya ada beberapa yang saya temukan. Pertama, terkait dengan kekagetan saya diatas. Tanpa kita sadari, bahasa Indonesia telah menciptakan kelas sosial baru. Kelas kota dan kelas desa. Bahasa Indonesia adalah bahasa bagi kelas kota. "Tabu" bagi kelas desa untuk mempergunakannya pada selain momen-momen tertentu. Inilah yang terjadi, setidaknya, di tempat saya.

Kedua, bahasa Indonesia terbukti secara perlahan menyurutkan bahasa ibu, bahasa daerah. Bahasa yang sudah terbukti lebih ada sopan-santunnya karena ada semacam "kasta bahasa" didalamnya. Setidaknya dalam bahasa di tempat saya. Yaitu bahasa Jawa.

Ketiga, dalam kaitannya dengan globalisasi, bahasa Indonesia telah teranak-tirikan. Bahasa global memang bahasa Inggris. Namun, negara tidak semestinya membiarkan segala sesuatu di-Inggris-kan. Hingga jualan ayam saja memakai kata "chicken". Negara memang tidak patut melarangnya mengingat kita hidup di era dimana kebebasan adalah niscaya. Tapi, setidaknya bisa mengarahkan dan atau menghimbau. Toh, yang membeli juga orang-orang yang buta bahasa Inggris.

Fungsi bahasa memang sebagai alat komunikasi. Namun kalau sudah menyangkut "pertarungan" peradaban bangsa, saya kira ia harus dipersenjatai dan dibuatkan strategi. Bagaimana agar ia tidak membunuh bahasa bangsa sendiri (bahasa daerah) dan bagaimana ia bisa mengebalkan bangsa sendiri agar tidak terjangkit Inggrisisasi.

Akhirnya... Ingatkah Anda bahasa Kawi? Akankah bahasa daerah atau bahasa Indonesia hendak bernasib sama?

Salam.

Previous
Next Post »