Jendela Bulu Perindu

Selembar wajahmu sudah tak cukup lagi menampung rinduku.
Parit-parit juga telah penuh dengan bait-bait.
Syair-syair terdengar jenuh tumbuh di atas pasir.
Begitu pula lirik-lirik yang tak lagi mampu mengalun apik.

Ingin aku bertandang menerobos celah-celah jendelamu yang masih tampak melapang.
Mencuri sketsa-sketsa wajahmu yang masih menyisa dibalik kaca.
Bersama semut menguntit asam manismu yang selama ini kau pingit dalam selimut.
Tapi aku ragu jangan-jangan itu hanya perwujudan dari nafsu.

Ya, memang kau sempat bernasehat bahwa itu bukan syahwat.
Itu adalah cinta yang harus digali dengan buldoser basa-basi.
Terus diasah dengan sua-sua agar pisahnya raga tak menyiksa.
Tapi aku ragu jangan-jangan itu hanya pembenaran seorang perindu.

Benarkah di kamar ini kita saling menyamar?
Menangkap rintih seekor tinggi dibalik sikap yang menuli!
Melihat sosok bakteri dibalik tak sehatnya akal budi!
Marilah kita jawab dengan hati yang benar-benar suci angkuhnya labirin gengsi ini.


Semarang,
23:04/011011.
Previous
Next Post »