Imajinasi Tragedi

Lalu, aku dapati kebencianmu dariku.
Bersama menghilangnya gambaran manis senyummu dibalik kata tiap kita bersua.
Tak ada lagi bunga yang tersisa.
Semua punah hanya dengan sebusur panah.

Lalu, kau sembunyi di suatu kota yang tak bernama dan tak berpeta.
Mencabuti tanda-tanda yang masih bisa terbaca.
Mengulang lagi langkah-langkah pada tahun-tahun yang sudah-sudah.
Jejak-jejak usang yang semakin membuatku kusam.

Lalu, aku dapati setumpuk wajah yang memerah.
Memaki dengan pancaran sinar halilintar.
Bias dari rona-ronamu yang sibuk membatu.
Pergolakan antara logika sesat dan sehat dari para sahabat.

Lalu, aku dapati indahnya tilawah.
Merekah diantara wajah-wajah lelah yang tertengadah.
Gending-gending berdenting membising.
Mengiramakan keluh-kesah yang tak pernah mau mengalah.
Inilah cambuk sejuk yang selalu membuatku mabuk.

Lalu, aku dapati kebencianmu dariku.
Mengarang keras dan menghantam kesadaran yang terdalam.
Tak ada lagi hati yang dapat aku tuangi mimpi-mimpi.
Meski masih banyak cawan dan gelas yang berlalu-lalang memelas.

Lalu, aku dapati kau berlalu.
Membawa segudang jawaban yang mengikis harapan.
Menyisihkan sedikit sisa untukku mereka-reka.
Membiarkan sepi memeditasi ruang-ruang imajinasinya sendiri.



Semarang,
03:10/061011.
Previous
Next Post »