Inilah Hidup

Jika angin itu permisi, tuntunlah aku pada kubangan duri.
Gapit kedua tangan rapuh ini.
Sembari matamu mesti melolok pada tapakku yang terseret cemeti.

Janganlah kau pergi.
Wajahmu belum sanggup ku bagi pada sepinya hari.
Terlebih pada jalan-jalan asing yang akan ku temui.
Aku tak berani, dan terlalu takut, untuk memahat relief-relief  waktu.
Walau hanya mewujud serpihan melodi.

Tanpamu, kemarau tak kan kunjung mengungsi.
Mereka yang telah dahaga, dan hampir mati, hanya bisa berharap dalam ratapan-ratapan penuh imajinasi. Persis seperti para cendekiawan kita yang sibuk berebut comberan prestasi.
Atau, seperti akademisi kita yang tak juga lelah mendangkalkan pendidikan dengan konsep-konsep industri. "Orang-orang suci" kita pun ternyata juga sudah berani melelang lidah, baik pada politisi maupun televisi; Cendekiawan berinsting hewan, Gengsi akademisi, orang-orang suci bertuhan materi.
Tentunya masih terlalu banyak kerudung-kerudung borok yang selalu berseri.
Na'udzu billah.

Ketika tangan merengkuh harapan, injaklah tajamnya angan.
Kau tak kan terluka.
Tak kan berdarah-darah.
Siapkan saja sekeping hati.
Ulurkan pada ufuk senja dikala mentari menari.
Atau, bayang-bayangmu akan terus berlari mengejar nadir di pagi hari.

Inilah hidup.
Selalu menyantap rongsokan teka-teki.
Tetaplah terkekeh.
Sebab, sungai manapun yang kau renangi, samudera kan tetap sedia membelaimu.
Ia tak pandang teisme-ateisme, brahmana-sudra, borjuis-proletar, dan semua kodifikasi yang selama ini kita rawat dan menjerat.
Baginya, kita hanya partikel-partikel yang menempel di ruang dengan berjuta warna yang berbeda.
Itulah sebabnya para pertapa begitu bahagia mengubankan diri di puncak sana.


Semarang,
01:28/300511
Previous
Next Post »