Kisah Petualangan dari Rembulan

Kau tentu ingat saat padang bulan menumpahkan orang di pelataran.
Kau tentu juga ingat saat bulan tak segan menceritakan sebuah petualangan.
Petualangan seorang buruh perantauan.

Aku masih ingat kala itu tanganmu terpaku di dagu.
Duduk bersila di atas rumput bertikar tanpa komentar.
Kawan-kawan sepantaran lain pun diam.
Termasuk aku yang usai bersibuk dengan jagung bakar.

"Bermula dari kenaikan BBM, sang perantau galau," tutur rembulan.
Sayang, hanya sampai di situ sajalah mata kanak-kanak kita terpejam.

Berhari-hari, berpekan-pekan, padang bulan akhirnya kembali datang.
Kau tentu ingat saat itu tanganku terpaku di dagu.
Rebah tengkurap di atas pasir bertikar tanpa komentar.
Kawan-kawan sepantaran lain pun diam.
Termasuk kau yang usai bersibuk dengan ikan bakar.

"Bermula dari kenaikan BBM, sang perantau risau," tutur rembulan.
Sayang, hanya sampai di situ mata kanak-kanak kita pergi bermimpi.

Kau tentu ingat saat padang bulan menumpahkan orang di pelataran.
Kau tentu juga ingat saat bulan tak segan menceritakan sebuah petualangan.
Petualangan seorang buruh perantauan.

Aku masih ingat kala itu rembulan bertandang.
Aku masih ingat kala itu kau bertanya-tanya keheranan.
Kawan-kawan sepantaran lain pun meyakinkan bahwa yang datang bukan rembulan.
Karena siang adalah matahari yang berwenang.
Aku masih ingat kala itu aku, kau dan kawan-kawan sepantaran sepakat; yang bertandang adalah setan.
Sayang, mulut kanak-kanak kita tak punya keberanian untuk meneriakkan.

"Bermula dari kenaikan BBM, sang perantau tak lagi galau," tutur rembulan.
"Bermula dari kenaikan BBM, sang perantau tak lagi risau," tutur ulang rembulan.
Sayang, keluguan masa kanak-kanak kita kala itu kita hiraukan.

Kini aku tahu yang kau duduki adalah jerjal batu.
Kini kau mengerti yang aku duduki adalah tajam duri.
Kini mereka paham bahwa yang diduduki kawan-kawan sepantaran kita adalah setan berupa rembulan.

Sudahlah tak perlu menyesal dan resah.



Semarang,
01:54/310312.
Previous
Next Post »