Lukisan Darah

Ku lukis darah, karena tak tahu kemana amarah mesti mengarah.
Jika Presiden hanya sinden yang bernyanyi menurut alunan gamelan.
JIka wakil rakyat hanya biduan pembuka senyum malaikat.
Jika penegak hukum memberangus patok luhur.
Jika LSM tinggal panah tanpa busur.
Biarkan lukisan darahku menusuk damaimu.

Lihat, kebenaran adalah lawakan pikiran.
Kebenaran adalah komedi murahan.
Kebenaran adalah angan yang haram direalisasikan.
Lihat sekali lagi.
Kebenaran adalah ilusi.

Ku lukis darah, karena tak tahu kemana amarah mesti mengarah.
Jika bumi bertikai dengan petani.
Jika ikan melelang nelayan.
Jika hutan menendang binatang.
Jika gunung tak henti meraung.
Biarkan lukisan darahku menggores acuhmu.

Dengar, kicau hukum amburadul.
Mengigau seperti anak-anak berebut pembelaan sang bapak.
Dengar sekali lagi.
Hukum kita tanak tidur tanpa mendengkur.

Ku lukis darah, karena tak tahu kemana amarah mesti mengarah.
Warnanya bukan merah.
Karena aku tak sanggup melihat bercak darah.
Gelembungnya bukan putih.
Karena aku tak tega melihat orang merintih.
Namun aku yakin, ini adalah lukisan darah.

Rasalah, udara ini serasa asing.
Debu ini serasa jauh dari buaian ibu.
Angin ini serasa dingin tak berpori.
Hujan ini serasa asam mengilukan.
Rasalah sekali lagi.
Negeri ini serasa bukan negeri lagi.

Ku lukis darah, karena tak tahu kemana amarah mesti mengarah.
Biarlah ia terkubur dalam sejarah.
Toh, masih banyak kanvas-kanvas waras.
Biarlah mereka mengunggah lukisan indah: selaian lukisan darah.



Semarang,
01:03/170312.
Previous
Next Post »