Kabar Kematian

Tersiar kabar, bapak kita mati dicincang gengsi.
Tambur perutnya tampak rimbun oleh derma orang kampung.
Tangan bercincin akik dijarinya mengutuk muda-mudi jadi pemudik.
Tebal kacamatanya menabir lebih dalam dangkal pikirannya.
Licin sepatunya melubangi jalan tanpa senggang.
Terkadang menggerogoti beton jembatan.

Tersiar kabar, bapak kita mati dicincang gengsi.
Di telivisi, di radio, di koran, di internet, bapak kita tak sempat sekarat.
Terlentang begitu saja di headline media-media.

Saudaraku, gelarlah dada menampung takdirnya.
Siapkan samudera bagi muara air mata.
Pastikan telinga tetap bergendang oleh ratapan kehilangan.

Saudaraku, sebaik-baik sikap adalah menempatkan kebaikan pada sikap-sikap.
Seperti sinar mentari di pertengahan hari.
Seperti udara yang tak hentinya bernyanyi.
Seperti langit dan bumi selama usia terjaga.

Saudaraku, bakarlah kecewa kalian tanpa sumbu kematian.
Jadilah api yang tak menghendaki revolusi.
Nuh telah mengajarkan bagaimana keniscayaan perbedaan.

Saudaraku, jika kabar itu benar, jemputlah wangsit Satrio Piningit.
Matanya sebam oleh tangisan.
Bibirnya terjal oleh rapalan.
Meski tak sebesar Bima, tangannya sanggup menggada.
Meski tak seampuh Yesus, telapaknya mampu menyepuh.

Aku tahu hati kalian tinggal sekepal, saudaraku.

Tersiar kabar, bapak kita mati dicincang gengsi.
Lebih terhormat kematian anjing sebab dipergunjing.
Lebih hina ksatria karena lari dari medan laga.

Tersiar kabar, bapak kita mati dicincang gengsi.
Apa yang terjadi dengan ibu pertiwi?
Apa beliau tetap bersedia menyusui?
Apa beliau malah mengumbar senyum nakal-hambar?
Lalu, menerima kabar-kabar kebenaran untuk menelantarkan kalian?
Lalu, mati juga diamputasi oleh gengsi?

Saudaraku, semoga bekas galian luka bapak kita mendatangkan surga.
Semoga, saudaraku.



Semarang,
02:09/210312.
Previous
Next Post »