Tuma'ninah

Aroma khas arak menyeruak.
Sudut-sudut persegi saling sentak.
Membangunkan tanya jiwa-jiwa terjaga.
Pada angin, pada cahaya.
Menepis lelah kembali bergairah.

Di sini, kebanyakan anak menamainya nirwana.
Tempat dimana segala puas bebas lepas.
Di sini, kebanyakan anak menyebutnya surga.
Tempat dimana bahagia tak boleh dicela.
Pendosa adalah julukan bagi siapa saja yang berani beda.
Tak pelak lagi, peperangan jadi satu-satunya petualangan.

Dengar geremangan tak bertujuan.
Menukar kenyataan pada tuan-tuan penjual impian.
Di sini, anak-anak menamainya pasar.
Tempat dimana untung diratakan.
Namun bukan.
Yang akan terbuka hanya satir-satir kedalaman derita.
Seperti apa yang telah nampak dimata.

Di sinilah jiwa-jiwa terjaga menebar curiga.
Ada apa sebenarnya aroma arak kian memekak.
Mengapa mesti tergeletak ditiap sudut jantung yang berdetak.
Kenapa pengetahuan anak-anak justru ikhlas terlentang dirusak.
Untuk apa pula sebenarnya memicu nadir gejolak.

Di sinilah seharusnya tanya-tanya tak bisa dianiaya.
Haram jika dikekang oleh insting binatang.
Penentang adalah penggembala mulia.
Walau bagi anak-anak tampak sebagai pecundang-pendosa.

Di sinilah angin dan cahaya tak boleh dikecam.
Toh, hidung punya bulu-bulu untuk pertahanan.
Mata punya penyerap cahaya yang mampu mencerna.
Bagaimanapun juga, angin dan cahaya sah diusir jika memang benar berbisa.

Janganlah kalut.
Janganlah takut.
Di sinilah lelah tak boleh turut menyerah.
Hanya memenjara raga tak beda dengan memperkosa jiwa.
Bukankah menggugah gairah memang langkah tuma'ninah meniti muthmainnah.



Semarang,
02:43/010712.
Previous
Next Post »