Romantisme Pecundang

Kesekian kali sudah dari pekat mendung, awan merekah.
Mengulurkan cercah-cercah kenyataan yang pernah berjalan.
Sang pecundang memenangi cibir kekalahan.
Sang juara membuang angkuh kemenangan.

Mana mungkin bisa berulang.
Matahari saja tak pernah memberi ruang.
Selalu mengatupkan diri di pusat inti.
Selalu mengalihkan pada ketidakjelasan bias putusan.

Sayangnya hanya matahari, dan hanya matahari yang mampu menyapu kegalauan hati.
Mustahil indah awan merajai kehidupan.
Malah mendung yang mungkin akan menendangnya ke kelumpuhan.
Lumpuh yang mematikan.

Kesekian kali sudah dari pekat mendung, awan dipaksa merekah.
Pun, sengketa tak goyah.
Semakin kuat bagai bulatan niat.
Menjulang kokoh menepis segala panggilan.

Sang pecundang mengutuk cibir kekalahan yang tak bisa dimenangkan.
Lamunan adalah satu-satunya hal yang membawanya berputar mengulang.
Sebab, tak ada lagi kesediaan sang juara membuang angkuh kemenangan.
Tak ada lagi kedatangan kenyataan yang pernah berjalan, meski awan dipaksa mengulurkan tangan.

Apalah arti tangan pecundang bagi tuan pemenang.
Hanya mainan, atau bahan tertawaan ditiap obrolan.



Semarang,
02:44/220612.
Previous
Next Post »