Misteri Seorang Peri

Entah berapa rangkai huruf yang sudah membingkai.
Entah berapa rangkai huruf yang sudah membangkai.
Hatimu, sedikitpun tak ada niat melihat.
Apalagi menilai.

Apa terlalu dingin, lalu api-api kau sulutkan dihati.
Apa bukan berlebihan jika api-api itu membakar apa pun atas nama kebajikan.
Bagaimana bisa seorang peri bahagia dari letupan air mata.
Tentu ada misteri yang selama ini tak pernah kau bagi.

Tengoklah dari jendela kamarmu, hantu-hantu bosan menakuti.
Atau intiplah dari mimpimu, para dewa belum juga bahagia.
Itulah kenapa hingga kini banyak cibiran bertandang.
Termasuk katak-katak diluar musim penghujan.

Apa kau tak ingat saat genggaman tanganmu tak lagi erat.
Jemarimu gemetar menebar kemenyan di reruntuhan taman.
Meraba-raba mencari masa silam yang telah kau buang.
Bukankah penyesalan memang tak pernah menyenangkan walaupun mengasyikkan.

Menyebut engkau angkuh bukanlah sikap sembarangan.
Menyebut engkau angkuh bukanlah tindakan ikut-ikutan.
Apa engkau kira tiap rangkai huruf dapat membingkai dengan niscaya.
Apa engkau kira tiap bingkai huruf dapat membangkai begitu saja.

Camkan, apimu telah membakar semua kesadaran.
Camkan, apimu tak sedikitpun menyisakan maaf yang hendak aku persembahkan.
Camkan, apimu telah membentuk jurang curam.
Camkan, apimu membangun tembok tebal.
Camkan, apimu melahirkan kabut legam.
Camkan, ...

Apakah itu engkau, wahai peri di mimpi.
Dimanakah setitik tawa yang aku tinggalkan menjelang adzan.
Jangan katakan engkau membaginya kala dunia memanen air mata.
Jangan katakan engkau menjualnya demi tawa kita selanjutnya.
Jangan katakan pula engkau kini sudah menjadi seorang permaisuri.
Jangan katakan juga misteri yang selama ini tak pernah kau bagi telah basi.



Semarang,
02:22/050712.
Previous
Next Post »