Revolusi

Ada suara dari mana.
Ruang sibuk mencari kesejatian.
Waktu sibuk memburu keabadian.
Lantai dan dinding merinding seiring atap terus bergeming.

Wahai jiwa ditengah terik kealpaan.
Belum jugakah bayang surya mengundang.
Beruluk sapa, atau sekedar memberi tanda akan masa yang baru bernama.
Belum jugakah udara menyisihkan lahan palagan.
Dimana meditasi niscaya menyadarkan diri dari ilusi mimpi.

Sebagian api menyulut sesaji.
Pisang setundun dan nasi berlauk teri diterbangkan.
Membelenggu tangan-kaki para dewa di jauh sana.
Sebagian lagi memudarkan gambar uang.
Mengirim upeti bidadari ke kahyangan.
Menelerkan para dewa dalam pesta yang haram merata.

Jika benar engkau titisan Adam, buang jauh angan liar.
Bukankah pasir dan karang menggambar kekuatan.
Mencoret peta kehidupan untuk saling memenuhi peran.
Apalagikah yang engkau nanti, wahai jiwa di tengah sengat tragedi.

Ada suara dari mana.
Hiruk pikuk siang berdentang menghujam.
Khusuk rengek bayi meraba-raba tetek bui.
Rintih mayat menyayat belaian malaikat.
Kami memang titisan Adam, tapi lebih nyaman menjadi siluman.

Sebagian air bergemericik mengendapkan bisik.
Membuihkan jernih kemanusiaan ke permukaan.
Satu warna dengan selera tak terhingga.
Sebagian air lain deras memangkas duri-duri hati.
Mencoba mengeroposkan kuasa anomali-anomali.
Setiap tetesnya terkelupas emas yang hingga kini salah dikupas.

Wahai jiwa di gurun kealpaan.
Dari manapun suara itu adalah benih karang.
Partikel pasir yang hendak memenuhi lelah celah.
Sambutlah selagi kealpaan tersadar.
Sambutlah selagi ruang membuka waktu senggang.
Sambutlah selagi waktu membuka gerbang ruang.
Sambutlah selagi jiwa-jiwa merindukan Tuhan.
Toh, membelenggu mendung butuh korban yang tak akan mampu dihitung.



Semarang,
02:25/170612.
Previous
Next Post »