Gejolak Mencinta dan Bercinta


Ku lihat setapak demi setapak jejak-jejak yang kau ukir diantara kerikil-kerikil dan pasir. Dengan halus, satu per satu bintik-bintik air menghunus dari pangkal mata menuju jejak-jejakmu yang tampak meragu. Mencoba sebisanya untuk menghalau cintamu yang masih menyisa agar tetap mengurungkan apa yang telah menggejolak didalam dada. Membangun kembali benteng-benteng kita yang telah luluh lantah agar dapat mementalkan bisik-bisik orang yang selalu menyerikan. Mungkin hanya inilah sinyal terakhir yang mampu aku berikan untuk merekatkan kembali regangan-regangan cinta kita yang telah memudar akibat hembusan angin-angin sosial.
Kelihatannya sia-sia wajah lemah ini mengerahkan segala dayanya untuk menarik kata-katamu yang terlanjur menyimpul beku. Hingga di ujung jalan pelataran rumah, kakimu tak sejenak pun menyiratkan untuk berhenti walau sekedar menoleh pada apa yang akan menjadi masa lalumu ini. Semakin mengecil dan kecil, sosokmu sirna di gulungan ilalang. Benar-benar lenyap tanpa sepenggal suku kata pun yang terucap.
###
Aku masih duduk termangu. Rasanya sedang menunggu sesuatu. Tapi entah apa itu aku kurang tahu. Seperti dulu waktu menunggu kedatangan laki-laki yang ingin mengajakku berkencan.
 “Siang mbak Ana… “ Sapamu setiap aku mengawali hari. Tak jenuh meski aku sering bersikap angkuh. Maklum, mungkin kau mengira aku belum tersadar penuh setelah semalaman bermandi peluh.
Seperti siang-siang yang lain, siang ini pun kau menyapaku. Ku dekati kau. Senyum-senyum simpul dari mulutmu menyembul. Sedikit nakal, diakhir perjumpaan, kau cubit pipiku hingga merah padam. Tanpa sungkan, aku tampar pula pipimu hingga memar. Namun, rasa senang tergambar di raut wajahmu begitu aku melangkah meninggalkanmu keluar. Segores dendam juga terpampang besar di matamu yang berbinar. Entah dendam seorang Adam pada Hawa, atau dendam si korban pada si penganiaya. Entahlah. Aku kurang begitu tahu tentang sketsa wajah dendam yang berbalut keriangan.
“Siang mbak Ana… “ Ku buang muka ke cakrawala. Sebongkah dendam diwajahmu yang tengah merekah terlihat mengintip lesu. Layu karena keenggananku mengairimu.
“Siang mbak Ana… “ Hampir enam tahun sudah kata-katamu tak berubah. Tetap ajeg meski hanya sekali aku mandeg. Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa aku sudah bosan dengan kata-kata itu? Atau, jangan-jangan hanya itu kata-kata yang kau punya? Ah, tidak mungkin seorang mahasiswa secerdas kamu tidak berpikir sampai ke sana. Apalagi sampai kehabisan kata-kata untuk mengawali sebuah tatap muka.
“Siang mbak Ana… “ Senyum kuberikan padamu. Ku hampiri kau untuk yang kedua kalinya. Ku perhatikan tak ada dendam yang memancar, walau pun samar-samar. Tapi kali ini aku enggan masuk kamar. Aku takut dendammu tersimpan didalam lemari ataupun di bawah kasurmu yang selalu berantakan. Sesaat ku rapatkan dudukku di kursi atommu. Kau beranjak masuk kamar dan keluar dengan membawa teh panas dalam dua cangkir. Satu kau berikan padaku dan satu lagi kau teguk pelan-pelan.
Sudah tinggal separo tehmu, tapi belum juga berkurang teh dalam peganganku. Ku tatap dalam-dalam teh itu dengan penuh kecurigaan. Jangan-jangan dendammu terlarut didalamnya. Jangan-jangan kau tumpahkan dendammu menjadi secangkir teh untuk merebut keramah-tamahanku. Jangan-jangan …. Tiba-tiba aku terhenyak saat mataku mendapatimu sedang memperhatikanku. Tanpa pikir panjang, teh itu langsung aku teguk sampai tak menyisa ketika adzan dluhur menggema dari musholla.
“Siang mbak Ana…” Lalu terlahir dari wajahmu cengar-cengir. Aku hampiri kau lagi.
“Mungkin nikmat kalau bangun tidur minum teh panas ya!?” Godaku padamu yang tengah memetik gitar dengan memandangiku. Seperti setengah merayuku. Karena lagu-lagu yang kau nyanyikan adalah lagu cinta yang penuh gombal. Tanpa meneruskan hingga usai, kau hentikan petikanmu dan kau sandarkan gitar itu pada dinding dibawah jendela kamarmu. Kau pun beranjak sejenak dan kembali bersama dua cangkir teh yang aku ingini. Satu untukmu dan satu lagi untukku. Kali ini aku tak punya rasa curiga sama sekali. Tak punya alasan untuk bercuriga mungkin. Teh itupun kita teguk pelan-pelan hampir bersamaan, dan habis pun hampir bersamaan pula.
“Siang mbak Ana…” Ku lihat sudah tersaji dua cangkir teh yang asapnya tampak mengepul. Aku jadi merasa tak enak jika tak mampir sejenak. Setidaknya untuk menghabiskan teh yang telah kau sediakan itu. Langkahku pun menuju pada senyummu yang tersipu. Baru seteguk, aku ingat kalau pukul setengah sebelas ini aku ada janji. Padahal sekarang sudah jam sepuluh kurang sepuluh menit. Ku lihat rasa kecewa tersingkap diraut mukamu. Dengan berat, aku tinggalkan dirimu dengan menggoreskan maaf atas banyaknya teh yang aku sisakan.
“Siang mbak Ana…” Ku lihat dua cangkir teh tersaji lagi. Ku paksakan kakiku mendekatimu agar mulutku bisa meneguk teh itu. Baru selangkah menuju ke arahmu, aku teringat hari ini aku juga ada janji. Waktunya juga sama seperti kemarin. Aku jadi bimbang antara lurus ke arahmu, atau belok menuju kamar mandi. Kalau mampir dulu, aku pasti terlambat seperti kemarin. Tapi kalau tidak mampir, bukankah hanya untukku teh itu. Dalam kebimbangan arah mana yang aku tuju, kau tampak menancapkan senyummu kepadaku. Meski berat, bibir tetap pula ku sunggingkan untuk membalas ramahmu itu.
“Maaf atas sedikit berkurangnya tehmu kemarin,” Ucapku sembari berusaha secepatnya untuk menghabiskan teh panas yang telah ada dipeganganku. Lidahku terasa getar karena kepanasan. Keringatku bercucuran seperti habis lari ketakutan.
“Kenapa tertawa?” Sergapku padamu. Kepalamu hanya geleng-geleng dengan menyisakan tawa yang tiarap digumpalan bibirmu. Tapi tak apalah. Mungkin ini waktu yang tepat untuk meninggalkanmu bersama separo tehmu yang tak mungkin aku telan habis. Ku pasang muka masam. Ku letakkan cangkirmu agak keras ke lantai. Ku tinggalkan dirimu seolah-olah aku sedang marah. Marah karena kau telah mengejekku. Telah menertawaiku yang dalam keadaan payah berusaha menghabiskan tehmu itu. Wajahmu tampak kacau. Terlihat bingung atas kepergianku dengan perangai seperti itu. Tapi dalam hatiku tertawa. Merasa telah berhasil memperdayaimu yang justru dalam keadaan sangat berdaya.
“Siang mbak Ana …” Sejak itu, aku tak pernah abstain menghadiri perjamuan tehmu itu. Mulai saat itu pula aku mengawali hariku bersamamu.
“Siang mbak Ana …” Aku mampir lagi.
“Siang mbak Ana …” Kau berikan teh lagi.
“Siang mbak Ana …” Rasanya sudah tak terhitung aku manghampirimu.
“Siang mbak Ana …” Entah berapa banyak teh yang mangkir ke dalam perutku.
“Siang mbak Ana …”
“Cukup Ana saja.” Pangkasku pada kata itu sebelum kau melanjutkan basa-basimu. Karena aku tahu, kau sepantaran denganku. Kita pun semakin akrab sejak itu.
###
Aku masih termangu. Seperti menunggu sesuatu. Adzan asar telah lewat. Perlahan gelap pun merapat.
“Siang mbak Ana …” Sapamu mengejutkanku di awal hariku di akhir bulan itu.
“Apalah arti ijazah jika hanya sebuah formalitas? Bukan itu tujuan dari pemberian ijazah bukan?” Katamu setelah bercerita panjang lebar tentang menghilangmu selama tiga bulan terakhir ini. Meski aku tak paham betul tentang pemikiranmu namun aku tetap kagum padamu. Dan aku pun serta merta membetulkanmu.
“Pak Bima, tukang parkir di Pasar Peterongan, aku rasa lebih berhak menyandang gelar S.Pd daripada si Budi, teman satu paketku yang lulus tiga setengah tahun itu. Sebab… ” Kali ini juga aku sepakat denganmu. Sebuah analisis yang dalam dengan contoh konkret dan argumen yang kuat.
“Membuat hidup indah juga tak harus dengan ijazah.” Lanjutmu dengan tanpa penyesalan setelah menceritakan sebab-sebab habisnya masa kuliahmu dengan menyisakan 30-an SKS. Lalu kau memberikan gambaran kebahagiaan yang kau rumuskan itu.
“Pak Darto dan keluarganya, kalau kau melihatnya, hampir tak pernah tidak tersenyum. Mereka tak punya ijazah apa-apa. Rumahnya mungkin bisa dikata tidak layak huni. Tapi mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah mengaduh. Waktu ayam jago satu-satunya, yang bagi mereka adalah kekayaan mereka, hilang, mereka mengikhlaskannya seperti membuang tinja. Dari wajah mereka yang cerah aku melihat kebahagiaan tercurah di sana. Aku terkadang merasa iri.”
###
 “Braaaaaaaaaaaaa…kk…kkk… Tueeeeeeerrrr……..”
Seketika mataku mengarah ke suara itu. Terlihat fotomu dalam figura berantakan dilantai. Aku beranjak menyibak pecahan kaca-kaca. Ku ambil fotomu. Ku pandang lekat-lekat guratan wajahmu. Ku benamkan dalam dadaku dengan mata terpejam dan pikiran ku biarkan melayang mengambil wajahmu yang kini telah hilang.
“Iya sebentar!!” Sahutku pada si pengetuk pintu.
Ku kubur fotomu beserta figura dan serpihan-serpihan kaca dalam sekotak masa laluku. Mungkin inilah bukti cintaku padamu.
“Semoga kita berjumpa kelak di surga”. Aku cium kotak itu setelah aku tutup dan kunci. Dan itulah kata-kata yang selalu ku jadikan doa.
“Mari pak!” Ajakku setelah mempersilakannya masuk ke dalam kamar.
“Tidak Ana. Malam ini juga aku harus menikahimu dulu.
“Apa?”
Aku sudah menduganya. Tapi apa secepat ini seseorang menyandang status janda. Meski aku bukan wanita seperti layaknya, apa aku tak berhak sebentar saja merasakan nasib sebagai seorang janda. Tapi lagi-lagi, tutur bicaranya yang penuh wibawa sepertimu selalu saja menundukkanku. Ya, malam itu juga aku dinikahinya. Dan mulai malam itu pula, kepuasan birahiku bisa terpenuhi dengan leluasa kapan saja. Tidak lagi harus menunggu sosokmu menghilang dari pandangan mata. Akhirnya, semoga kamu di alam sana mengerti dan memaafkan segala yang aku lakukan bersamanya waktu cincinmu masih menghias di jariku. Jujur saja, bagiku, aku tak bisa mencinta pada laki-laki lain selain dirimu. Dan aku tak bisa bercinta pada laki-laki lain selain dirinya.
###
Semarang,
Nopember 2011

Previous
Next Post »