Lelayu

Dari satu riwayat berduyun beribu pelayat.
Hitam menandakan duka yang teramat dalam.
Antrean nanar mata membusungkan rasa kehilangan.
Gema dan gaung doa berlomba jadi pengantar surga.

Kawan, darahmu bukan darah bangsawan.
Pemakamanmu juga bukan seremoni para pahlawan.
Tapi, lihatlah kawan, tamumu memenuhi taman.
Kembang yang dulu kau keramatkan kini tinggal batang.

Kau, kawan, adalah manusia yang tak kenal kasta.
Karena kasta adalah ciptaan manusia yang suka dipuja.
Kau, kawan, tak butuh buruh-buruh.
Sebab, kau mampu mencipta apa yang kau suka.
Makanya kau merasa kita tak perlu penguasa.
Karena kita sudah tertata.

Semua tak yakin kawan, kalau kau sudah tiada.
Ragamu memang terkulai membangkai.
Membusuk bagai kemapanan yang kau tusuk.
Nyawamu kawan, serasa menabur kasturi bagi mereka yang frustasi.
Menghibur para papa untuk merajut kembali asa.
Kau memang bukan pahlawan, namun apa yang kau tinggal cukup menentramkan.

Dari satu riwayat berduyun beribu pelayat.
Hitam menandakan bumi pantang ditinggal.
Antrean nanar mata membuktikan nurani berbicara.
Gema dan gaung doa menunjukkan surga tengah siap menghadap.

Kau, kawan, adalah segelintir manusia di rimba.
Tanpa pamrih meski pedih.
Tanpa upah meski payah.
Tanpa jasa meski merana.
Lihat kawan, tamanmu diserbu penuh tamu.
Birbisiklah kawan, bahwa lelayu ini bukan palsu.



Semarang,
01:00/260412.
Previous
Next Post »