Sebab, Kita Hanya Manusia


Kita membicarakan lawan seperti tak mengenal kemanusiaan.
Di sana hitam, di sini hitam.
Lalat-lalat kita tebar berkeliaran.
Melepas ikatan tenung penyamun dusun.
Kita bagai dewa tanpa cela.

Darah kita sama-sama merah.
Terkadang menetes kala tergores.
Sebab, raga kita tak kenal rumus kekal.
Seperti bumi yang mustahil abadi.

Kita hanya abu yang disuntikkan dalam rahim ibu.
Bukan wewenang kita menentukan derita.
Bahkan tak akan pernah bisa.
Kita akan sama-sama dihisap neraka.
Sebab, kita bukan dewa tanpa cela.

Kita membicarakan lawan seperti tak mengenal kemanusiaan.
Tak ada setitik buih yang bersih.
Tinta buat menyusun cerita kita desain sedemikian rupa.
Serasi dengan warna yang kita suka.
Sebab, kebenaran adalah apa saja yang bisa kita terima.
Apa pun diluar itu, hanyalah kode melucu.
Sebab, kita adalah manusia tersempurna.

Kita membicarakan lawan seperti tak mengenal kemanusiaan.
Padahal, kita tak sepaham dengan para kapital yang menuhankan modal.
Kita juga mengecam berkeliarnya para barbar.
Slogan kita, alam akan tenteram jika hukumnya kita camkan.
Tak heran jika rimba adalah satu-satunya surga bagi kita.
Inilah bukti bahwa kita bukan manusia tersempurna.

Kita membicarakan lawan seperti tak mengenal kemanusiaan.
Padahal, tiap hembus nafas kita berdegup sebagai manusia.
Tiap jengkal langkah kita berjejak sebagai manusia.
Apa benar kita kehilangan tanda kemanusiaan?
Apa benar peta yang diwariskan Tuhan sudah tak relevan?
Apapun alasannya, rasanya kita terlalu eman meninggalkan alpha menuju beta.
Bagaimanapun juga, lawan kita adalah manusia pula.
Sangat sesat kiranya jika kemanusiaan kita peralat untuk memusnahkan.



Semarang,
04:04/180412.
Previous
Next Post »