Pantaskah Hukum Alam Dipersalahkan?

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia saudara-saudara sebangsa kita. Semoga arwah mereka diterima di sisi-NYA. Indonesia berduka. Itulah kata-kata dan kalimat-kalimat yang akhir-akhir ini menjejali media massa, dan yang hampir setiap kali ketika kita menonton TV dapat dipastikan kita tak dapat melewatkannya.

Ya, Indonesia kini berkabung atas bencana beruntun yang dialaminya. Gunung meletus dan Tsunami yang hampir bersamaan membuat negara ini tanpa berdiskusi sejenak pun memasang sebuah pikiran yang tak dapat di ganggu gugat, "INDONESIA BERDUKA, INDONESIA BERKABUNG, INDONESIA MENANGIS". Dan entah apa lagi, yang pasti kata-kata dari pikiran yang inti pokoknya bersimpati dan berempati pada mereka, penduduk bangsa ini, yang sedang terkena "bencana".

Di atas, kata bencana saya tulis dengan tanda petik, karena saya kurang sepakat kalau kita (bangsa Indonesia) sedang terkena bencana atau musibah. Bukankah di zaman yang sarat teknologi ini seharusnya kita dapat meminimalisir terjadinya semua "bencana" itu? Bukankah di zaman yang katanya segalanya sudah dapat diramalkan dengan bantuan teknologi dapat mencegah hal-hal yang dinamakan "bencana" itu?

Meski teknologi yang dihasilkan dari hasil eksploitasi akal manusia sudah sedemikian menghebohkan, akal sebagai potensi bawaan yang sangat ajaib bagi manusia sebenarnya sudah bisa berpikir mengenai hal itu jauh sebelum akal dapat melahirkan teknologi seperti pada masa ini.

Pernahkah kita tidak melihat (secara alamiah) orang yang tidak emosi ketika ada seseorang membunuh seorang yang lain? Atau, pernahkah kita tidak merasa jengkel sedikit pun jika ada seseorang yang menganiaya orang-orang yang kita cintai? Saya rasa hanya manusia yang tidak punya hatilah jika dia menyaksikan kejadian-kejadian seperti yang saya ungkapkan yang berkata; "Ya, saya tidak sedikit pun emosi atau pun jengkel". Inilah ciri otang-orang yang tidak punya hati, meski ia mengaku seorang yang bermoral dan beragama.

Dari sedikit deskripsi di atas, saya jadi ingin menyamakannya dengan "bencana-bencana" yang kini telah dan sedang menimpa saudara-saudara sebangsa kita di Papua, Sumbar dan Magelang. Haruskah dengan dalih "itu sudah takdir Tuhan atau hukum alam yang sudah tak dapat ditolak lagi" kemudian masalah "bencana" ini tidak dapat mencari siapa yang paling bertanggung jawab? Lalu kenapa para polisi atau tim densus 88 dapat mencari siapa yang salah dan paling bertanggungjawab dalam "bencana" pengeboman massal? Apakah karena pengeboman massal dilakukan oleh manusia dengan jelas kemudian hal ini menjadikan sesuatu yang apologic? Saya rasa tentu kurang adil.

Bagi siapa pun yang hidup di dunia ini, saya yakin-seyakinnya bahwa semua orang pasti percaya akan adanya hukum alam. Siapa yang menandur pasti akan menuainya. Coba siapa yang tidak percaya? Tolong saya dikasih argumentasinya! Akankah hukum alam ini begitu saja berjalan tanpa campur tangan manusia?

Memang tidaklah bijak jika kita mencari siapa yang salah dan benar, atau siapa yang paling bertanggungjawab atau bukan. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa seyogyanya "bencana-bancana" itu tidak akan terulang lagi. Tentunya dengan menggunakan berbagai alat atau teknologi yang telah dicapai oleh manusia melalui akalnya. Karena dengan akal-lah manusia diperintah untuk menjadi Khalifah-Nya di muka bumi ini. Tentu saja bukan cuma menanganinya, tapi yang lebih penting adalah menjaga bagaimana agar "bencana-bancana" itu tidak terjadi.
Previous
Next Post »