WAJAH-WAJAH ITU

Ku tatap wajah-wajah itu penuh kerendahan. Kotor. Kumuh. Kusut. Hujan masih sekedar tanda. Tapi, udara malam itu tak kalah menusuknya dengan anak panah-anak panah yang melekat pada Bisma ketika perang Baratayudha. Bagai panglima Kurawa itu, aku masih berusaha tersenyum dalam dingin, meski menggigil. Ku injak tanah-tanah tanpa pandang bulu apakah disana ada seekor semut yang sedang berjuang mengusung makanan. Atau barangkali terdapat rumput yang sedang menanti embun datang. Aku tak peduli. Aku tetap mantap melangkahkan kaki ini.

Perlahan dingin menjadi gerimis. Hujan pun tak dapat lagi dicegah. Ku tatap lagi wajah-wajah itu masih dengan kerendahan. Dalam batinku terus berujar, “Mereka adalah orang-orang laknat. Bukan hanya rendah penampilan, tapi juga moral. Jauhilah mereka. Jangan sekali-kali engkau menyapa. Apalagi sampai berbincang.” Begitulah terus-menerus kata-kata itu dipendam oleh batinku. “Engkau adalah seorang pangeran. Seorang putra mahkota. Seorang raja jika kelak ayahandamu tiada. Pantaskah seorang yang agung bersua dengan mereka?” Tambah batinku lagi.

Aku masih menatap wajah-wajah mereka dengan kerendahan. Ku tatap mereka dengan sorot mataku yang menurutku sorotan yang mematikan. Sorotan yang juga menundukkan. Bahkan, menurut banyak orang di kerajaanku dapat meluluhlantakkan langit dan menggoyahkan bumi. “Sampai sedahsyat itukah sorotan matamu?” Aku terkejut seketika. Darimana orang kumuh ini tahu apa yang dikatakan batinku? Tanyaku pada diriku sendiri saat mengamati sumber suara yang berada persis disampingku. “Engkau belum tahu kehidupan, kawan? Selama ini yang engkau alami bukanlah kehidupan. Itu adalah surga, tapi sekaligus juga neraka. Tataplah aku dan mereka sekali lagi”. Tambah orang kumuh itu.

Kali ini aku tatap wajah-wajah mereka, termasuk wajah orang itu. Aku masih saja menemukan kerendahan pada mereka. Aku masih mendapati pada mereka seperti yang sebelumnya, orang-orang yang laknat. “Mereka memang orang rendah, kawan. Mereka memang orang laknat, kawan. tapi dimatamu.” Tuturnya tiba-tiba padaku. “Siapakah engkau sebenarnya?” Sergahku padanya. “Dinginkah malam ini?” Tanyanya padaku. “Siapakah engkau sebenarnya?” Sergahku lagi. “Yakinkah engkau mentari akan menyapa lagi besok?” Tanyanya lagi. “Siapakah engkau sebenarnya?” sergahku lagi. Ia hanya menatapku sembari merekahkan senyum padaku. Sambil menepuk-nepuk bahuku, ia melangkah dengan ringan menuju gerombolan itu. Gerombolan orang-orang rendah, kumuh dan laknat itu.

Aku masih tetap menatap wajah-wajah mereka. Kekumuhan mereka. Kerendahan mereka. Kelaknatan mereka. Mataku tak sedikitpun melirik pada yang lain. Hanya mereka. Ya, hanya mereka yang aku tatap. “Kenapa engkau hanya menatap mereka? Dunia ini luas. Alam ini tak terbatas. Makhluk-Nya tidak hanya mereka. Dimana engkau berada, disana pasti ada makhluk-Nya. Dimana ada makhluk-Nya, disana ada kehidupan. Termasuk yang telah engkau alami di kerajaanmu selama ini adalah kehidupan pula. Jadi engkau sudah tahu kehidupan.” Celetuk seseorang sambil berjalan dari arah belakangku tanpa menoleh padaku sedikitpun menuju kedepanku, dimana gerombolan itu berada.

Bagaimana orang itu bisa tahu yang dibicarakan batinku? Nyatakah ini? Atau, mimpikah aku? Aku jadi teringat kata-kata empu di kerajaan, katanya, jika engkau ragu-ragu terhadap suatu keadaan antara mimpi atau nyata, maka cubitlah badanmu, atau pukullah badanmu. “Plakk…!!!” “Plakk…!!! Seketika ada dua orang telah memukul kedua pipiku secara bergantian kanan dan kiri. Selepas memukul mereka berdua melambaikan tangannya padaku sambil berjalan menuju gerombolan itu pula. Tanpa ada rasa ingin membalas, aku pun hanya menggeleng-gelengkan kepala dan berujar satu kata, “aneh”.

Kilat terlihat tak hentinya menyala-nyala meski tanpa gelegar petir. Hujan pun tak kunjung usai. Malam menunjukkan sebentar lagi akan mencapai puncaknya. Aku tetap saja masih khusyu’ menatap mereka. Bahkan, kini berlipat-lipat keinginan untuk menatap mereka setelah keanehan-keanehan yang baru saja aku alami. Meski demikian, batinku masih terdengar berujar, “Mereka adalah orang-orang laknat. Bukan hanya rendah penampilan, tapi juga moral. Jauhilah mereka. Jangan sekali-kali engkau menyapa. Apalagi sampai berbincang.” Begitulah terus-menerus kata-kata itu dipendam oleh batinku. “Engkau adalah seorang pangeran. Seorang putra mahkota. Seorang raja jika kelak ayahandamu tiada. Pantaskah seorang yang agung bersua dengan mereka?” Tambah batinku lagi.

“Engkau belum pantas, atau mungkin tak layak jadi raja, kawan. Lihatlah hujan itu! Engkau hanya sebuah rintikan diantara rintikan-rintikan yang lain. Sesekali perhatikanlah kilat itu! Aku yakin engkau tak akan mampu memandangnya dengan sengaja, walau hanya sedetik, atau kurang darinya.” Kata seseorang yang sambil lalu dihadapanku.

“Sangatlah mustahil jika engkau bisa jadi raja, kawan. Sama dengan mustahilnya engkau bisa menatap dan memandang mereka, kecuali hanya dengan kerendahan, kekumuhan dan kelaknatan.” Kata seorang dari mereka pula yang sambil lalu dihadapanku.

“Meski kini engkau seorang pangeran, aku sangat yakin seyakin-yakinnya engkau tak akan menjadi raja. Seandainya engkau jadi raja, aku sangat yakin seyakin-yakinnya engkau tak akan mempunyai warga kerajaan.” Kata seorang dari mereka pula yang sambil lalu dihadapanku pula.

“Sungguh sebuah kelucuan jika engkau benar-benar jadi raja hanya karena engkau memperoleh sebuah mahkota. Kalau hanya sekedar mahkota, tanyalah pada mereka semua, aku yakin mereka semua dapat menjadi raja, sebab, mereka semua bisa dengan mudahnya membuat mahkota.” Kata seorang dari mereka pula yang sambil lalu dihadapanku pula.

“Hahaha….. Engkau jadi raja? Engkau tak mengerti alam. Udara saja tak terasa olehmu. Besok masih ada mentari atau tidak engkau tak tahu. Batas surga dan neraka pun engkau hanya bengong. Makhluk yang masih satu spesies saja engkau pertanyakan. Masihkah engkau merasa pantas menjadi raja?”

“Diam!!!” Bentakku pada mereka. “Hahahahahahahaha….”, Sahut mereka malah menertawaiku. Kilat tampak semakin cepat bermunculan. Guntur kini mulai bergemuruh. Air yang turun dari langit bertambah membesar bongkahannya. Tanpa ku sadari, air hujan sudah setinggi lutut. Aku masih menatap mereka. Kali ini tatapanku bukanlah tatapan dengan kaca mata kerendahan, kekumuhan dan kelaknatan. Tapi, tatapan kejengkelan, kebencian dan kedendaman pada mereka.

Dari gerombolan mereka terlihat seseorang sedang melangkah mendekatiku. Aku tak peduli. Aku hanya mematung dan tetap menghadapkan wajahku pada gerombolan didepanku. Ketika seseorang itu menghempaskan asap rokoknya tepat diwajahku, aku pun tak bergeming. “Tak tahukah engkau siapa aku?”, Tanyaku padanya. “Tak tahukah engkau siapa aku?”, jawabnya malah berbalik menanyaiku. Kemudian, ia mengamatiku dari atas sampai bawah sembari mengelilingiku. Aku pun tetap mematung meski air bertambah tinggi sampai pusarku.

“Pernahkah kau dengar cerita Nuh? Sang Nabi yang umatnya ditelan banjir dahsyat?”, Suaranya yang berat membuatku tambah merinding. “Aku yakin empu-empu di kerajaan sudah pernah cerita padamu. Lihatlah aku! Tataplah wajahku!”, bentaknya sembari kedua tangannya meraih kedua pipiku dan memaksa menghadapkan wajahku pada wajahnya. Kami berdua pun saling bertatap muka. Matanya begitu angkuh. Alisnya terlihat tegas. Sorotnya, tak kalah dahsyat dengan sorot mataku. Kami pun beradu sorot mata. Tanpa kedip.

Didalam matanya, persis ditengah-tengah bintik hitam itu, kulihat dengan jelas huruf-huruf yang membentuk sebuah kata. Ku tatap dalam-dalam kata itu untuk meyakinkan diriku. “Benarkah ini kamu?”, bisikku padanya. Seketika ia melepaskanku dan melangkah meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaan yang ku ajukan. “Belajarlah dari riwayat hidupku, kawan!!”, teriaknya dengan masih berjalan menuju gerombolan itu lagi. “Sebentar lagi air kan menelanku, bergegaslah pergi menemui seseorang yang mendirikan agama Samawi, kawan”, tambahnya lagi.





Menjelang Ashar,

Semarang, 4 Februari 2011
Previous
Next Post »