Kopi Kontekstual

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Tinggal kepulan asapnya yang menggambarkan burung Garuda yang masih terselip dalam ingatanku. Kemudian, pecahannya yang membentuk tiga kata, "Bhineka", "Tunggal", dan "Ika", yang secara berurutan seakan-akan memberikan kita aba-aba untuk memulai aktifitas kita masing-masing dihari-hari itu. Waktu yang sudah berubah menjadi kenangan, dan cerita pokok saat kita berjumpa. Senyum dan tawa pun tak pernah tertinggal untuk menjadi sayur dan lauknya. Tak ada yang haru, atau cerita tragedi. Sebab, yang kita kenal hanyalah syukur kala itu.

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Tiga ratus lima puluh tahun lebih, aku masih ingat betul, dengan setianya kau meracik kopi di pagi dan petang hari. Tak jarang, juga di malam hari saat keterjagaan menyelimuti salah satu diantara kita. Petikan gitar, suara-suara sumbang dan nada-nada alam tak akan kunjung usai jika aroma kopimu masih bersenggama dengan dinginnya kebebasan dan pongahnya darah-darah yang berceceran.

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Kepahitan setetes dan kemanisan setetes di"kothok" pada tungku keikhlasan sampai mendidih, lalu ... Itulah resep darimu yang sempat aku abadikan pada sekeping nisan. Namun, aku tak lagi sakti dan ampuh untuk memastikan dan membuatnya sekedar siuman. Sebab, aku baru saja menemukannya pada ketiak materialisme dan di sela-sela bulu kapitalisme, setelah berabad-abad tidak aku dapatkan pada saku-saku kita.

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Dari bahan yang sama, kau bisa ciptakan kopi yang berasa beda, antara kopi malam, kopi petang, dan juga kopi pagi. Namun, tetap nikmat dan memuaskan berjuta selera yang kita punya. "Kopi Kontekstual", begitulah berbagai ahli menamainya.

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Belum sekalipun telingaku mendengar suara-suara bising tentangmu. Apalagi menghujat cita rasa kopimu. Tak ada kata atau kalimat yang mengiringi epos-epos mengenaimu, kecuali puji dan puja. Di sudut warung kopi di suatu desa yang terisolasi, semuanya menganggapmu bukanlah seorang manusia, entah Dewa atau apa, pastinya bukan iblis ataupun sejenisnya. Di ujung sebuah desa lain yang terkucil, apa-apa yang kau anggap "biasa", kini diabadikan sebagai "yang luar biasa". Belum lagi di lorong perkampungan kumuh di sana, hampir semua kekumuhanmu pun dimodifikasi sedemikian rupa menjadi "kesucian", sehingga dengan mudahnya ia bermetamorfosis menjadi barang yang "sakral".

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Sekecap maafku rasanya sudah meluluhkan kecewamu. Aku tahu dengan pasti, tanpa diucap, maafmu selalu membanjir pada segala penjuru noda-noda. Pada egoisme-egoisme kita yang selalu bertopeng humanitas. Pada nafsu-nafsu kita yang tak pernah berhenti berias ala Siddharta. Pada kebinatangan kita yang berpose sufisme. Pada ketidakalamian yang telah meraja dihati kita.

Aku telah lupa racikan kopimu kawan. Semoga kita tidak benar-benar lupa. Semoga langit menampakkannya pada goretan-goretannya diantara warna-warni pelangi. Semoga fajar kan melahirkannya kembali bersama embun yang menjernihkan. Semoga malam menumbuhkannya bersama bias-bias rembulan dan gemintang. Semoga kawan.


Semarang,
23:37, 230511
Previous
Next Post »