Kiai: Sang Pendidik Sejati


Tercatat dalam sejarah Yunani ada suatu kelompok yang dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum Sofis yaitu sekelompok orang yang mengajarkan pengetahuan kepada anak-anak, yang jika pada masa sekarang seumuran anak-anak SD, dengan meminta imbalan berupa uang. Kelompok ini, yang diantaranya yaitu Protagoras, mempunyai pandangan yang berseberangan dengan kelompok filosof yang mana pengajarannya hanya demi kemajuan anak-anak tersebut. Keteguhan kelompok filosof ini ditandai dengan kematian Socrates dengan hukuman meminum racun karena ia tidak mengindahkan larangan penguasa pada masa itu agar menghentikan pembelajarannya yang diduga kuat sebagai kegiatan propaganda terhadap penguasa. Dengan kata lain dapat dikatakan, kematian Socrates tidak lain karena ia menentang intervensi penguasa terhadap apa yang ia ajarkan.
Sekelumit penggalan sejarah di atas, jika kita kaitkan dengan era sekarang, tentu kita mendapati bahwa yang mati ternyata tidak hanya Socrates, tetapi nilai-nilai yang dipertahankannya juga tampak lunglai karena tingginya kadar racun dalam minumannya. Kita dapat menyaksikan disekitar kita dimana kaum Sofis-kaum Sofis menjamur di tengah-tengah apa yang mungkin kita sebut sebagai moralitas. Parahnya, lembaga-lembaga dan institusi-institusi pemerintah dengan sangat cepat bermetamorfosa menjadi ladang bagi mereka. Coba kita bertanya kepada para pendidik-pendidik kita: apa tujuan mereka terjun di dunia pendidikan? Pertanyaan ini mungkin dapat kita jawab dengan banyaknya fenomena para guru yang telah lama mengabdi berdemonstrasi menuntut pengangkatan mereka untuk menjadi pegawai pemerintahan (PNS). Juga, banyaknya para guru mengajukan, mendaftarkan, dan mengikuti profesionalisasi guru yang tujuannya mungkin juga sebagian kita sudah tahu dan memaklumi; entah agar semakin banyaknya tunjangan atau gaji.

 Termasuk kaum Sofis atau Filosof kah para pendidik (guru dan dosen) kita?
Tentu saja kita tidak dapat menggeneralisasikan bahwa semua pendidik kita adalah “minash-shofisin”. Namun, itulah potret terbesar dari nawaitu mereka dalam terjun di dunia pendidikan. Yang menarik adalah dunia pesantren. Jarang kita temui ada pesantren yang pendidiknya (kiai) berlaku seperti kaum Sofis meski hampir semua institusi pendidikan, baik formal maupun non-formal, ataupun baik milik pemerintah maupun swasta, telah terhegemoni paradigma tersebut. Kiai seperti bongkahan batu yang tetap tak bergeming sedikitpun meski ombak dan badai Sofisme terus menggoda dan merayunya. Meski pesantren mulai ikut meramaikan bursa ijazah bagi dunia industri, kebanyakan kiai lebih memilih berwiraswasta daripada menjadikan profesi pendidiknya sebagai sumber penghidupannya. Sayangnya, ternyata pesantren-pesantren kontemporer telah sedikit mencoreng dunia pesantren dengan dalih modernisasi manajemen terjerumus dalam belangga Sofisme.
Tulisan ini bukan berarti menjelek-jelekkan ataupun menghujat profesi pendidik yang—kalau saya tidak salah—kebanyakan mengambil sikap Sofisme. Namun, apa tidak lebih baik jika para pendidik bersikap sebagaimana yang dicontohkan para filosof yang diwakili Socrates. Jika para pendidik saja takut akan kelaparan jika aktifitasnya mendidik tidak menjanjikan kesejahteraan, bagaimana ia dapat meneladankan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran? Bukankah seorang pembela kebenaran selalu dililit kelaparan?
Jika guru kencing berdiri, jangan salahkan anak didik akan kencing sambil berlari. Semoga bukan itu yang terjadi.


Semarang,
01:21/290212.
Previous
Next Post »