Hikayat Petani

Maghrib menyingkap aib.
Menahan kesal tumpukan kerikil berair.
Di sepanjang terjal lubang jalan.
Di sekitar pabrik dimana debu beristirahat tenang.

Alangkah gagah isak perintah menyergah.
Bergaung keras melampaui bayati adzan.
Memasang kaki bayang senyum pasang istri.
Mengayunkan tangan jinak bagi sang anak kelak.
Tunduk patuh untuk membaur angkuh yang subur.

Jemari terlipat rapat.
Pucuk-pucuknya tertengadah menyeret wajah.
Demi istri.
Demi buah hati.
Demi gengsi kanan-kiri.

Biarlah otot-otot kekar itu mekar.
Menjauh dari tungku jeratan pasar.
Memanen padi tiga bulan lagi.
Menikmati hari tanpa menanti usia menepi.

Dosa siapa jika harta bumi menguap percuma?
Dosa siapa jika hidup sia-sia?
Dosa siapa jika makna ternoda?
Dosa siapa jika tak ada lagi yang mengenal dosa?

Janji deru mesin mengubur janji padi tergiling.
Tak ada malu buat lebah membeli madu sebelah.

Hingga maghrib berlalu, petani kian layu--sepi.
Di rumah-rumah, cerita serakah menutupi sawah-sawah.
Menjemput laju maghrib menuju pagi yang tak pasti.



Semarang,
12:00/200212.
Previous
Next Post »