Tidak lama kemudian, kau jumput hatimu ditengah kepekatan.
Kau haturkan pada Semar dengan harapan yang begitu terang.
Cukupkah sebongkah bintang?
Tidak lama kemudian, jejak-jejak laju darahmu mengumpat dalam kelu lidahmu.
Simphoni raga yang mengerdilkan jiwa.
Kau pun mencari samudera dibalik derita.
Tak cukupkah setetes hujan?
Tidak lama kemudian, sang pengembara menyapamu.
Bukan dengan tawa.
Bukan dengan raut ceria.
Keriput-keriput jasadmu mengelupas terselip dalam asa.
Membusuk keras diantara nanar-nanar kepiluan.
Seberapa jauhkah air mata dapat melayang?
Tidak lama kemudian, kau tertawa tertahan.
Tertatih-tatih meniti kelembutan.
Joko Bodo dan spesiesnya kau arak melintasi kemandulan.
Merayap pada gedhek-gedhek spiritualitasmu.
Masihkah hatimu tersisa?
Tidak lama kemudian, langit-langit berdehem.
Mengeluarkan riak zamannya Ronggowarsito.
Memahatnya pada cakrawala segala generasi.
Dari Atlantis, Nusantara, hingga Indonesia.
Kau pun hanya mengekor di dalamnya.
Terkurung pada syaraf-syaraf kegilaan.
Dimanakah "belik" kewarasanmu?
Tidak lama kemudian, kau menyebut mereka para aktor dan aktris.
Dagelan dalam penat leluconmu.
Dibalik gema "goro-goro" kau digugat oleh Semar.
Disabda tak pernah mati.
Menyambut fajar dan petang tiap hari.
Akankah jiwamu berseri?
Tidak lama kemudian, gemetar lidahmu membangunkan Pendawa.
Sekaligus juga bersama Kurawa.
Bisma juga Kresna.
Chaos beserta Gaia.
Yin juga Yang.
Tanyamu, begitukah keabadian bekerja?
Semarang,
21:32, 190511
Kau haturkan pada Semar dengan harapan yang begitu terang.
Cukupkah sebongkah bintang?
Tidak lama kemudian, jejak-jejak laju darahmu mengumpat dalam kelu lidahmu.
Simphoni raga yang mengerdilkan jiwa.
Kau pun mencari samudera dibalik derita.
Tak cukupkah setetes hujan?
Tidak lama kemudian, sang pengembara menyapamu.
Bukan dengan tawa.
Bukan dengan raut ceria.
Keriput-keriput jasadmu mengelupas terselip dalam asa.
Membusuk keras diantara nanar-nanar kepiluan.
Seberapa jauhkah air mata dapat melayang?
Tidak lama kemudian, kau tertawa tertahan.
Tertatih-tatih meniti kelembutan.
Joko Bodo dan spesiesnya kau arak melintasi kemandulan.
Merayap pada gedhek-gedhek spiritualitasmu.
Masihkah hatimu tersisa?
Tidak lama kemudian, langit-langit berdehem.
Mengeluarkan riak zamannya Ronggowarsito.
Memahatnya pada cakrawala segala generasi.
Dari Atlantis, Nusantara, hingga Indonesia.
Kau pun hanya mengekor di dalamnya.
Terkurung pada syaraf-syaraf kegilaan.
Dimanakah "belik" kewarasanmu?
Tidak lama kemudian, kau menyebut mereka para aktor dan aktris.
Dagelan dalam penat leluconmu.
Dibalik gema "goro-goro" kau digugat oleh Semar.
Disabda tak pernah mati.
Menyambut fajar dan petang tiap hari.
Akankah jiwamu berseri?
Tidak lama kemudian, gemetar lidahmu membangunkan Pendawa.
Sekaligus juga bersama Kurawa.
Bisma juga Kresna.
Chaos beserta Gaia.
Yin juga Yang.
Tanyamu, begitukah keabadian bekerja?
Semarang,
21:32, 190511
Masukkan komentar disini
ConversionConversion EmoticonEmoticon